Oleh : Dedy Ibmar*
Kabar menyengat
itu kembali dihembus angin dari sumatra dan kalimantan. sudah berbulan-bulan
masyarakat disana tidak menghirup udara segar layaknya manusia pada umumnya.
kesehariannya mereka hanya menghirup asap yang berujung pada gangguan
pernapasan. Hingga sekarang kabut asap masih
menjadi pemandangan tersendiri bagi masyarakat. Asap telah
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di daerah rawan asap tersebut.
Seperti di
Riau, ratusan hektar hutan diprovinsi yang kaya akan sumber alam itu telah
hangus terbakar dilalap api. hal ini tentu
tanpa sebab musabab, sebab tidak mungkin ratusan hektar hutan dapat terbakar
dengan sendirinya tanpa ada yang sengaja membakar. Selain itu, kebakaran juga selalu saja
berulang-ulang terjadi. Artinya, Kabut asap yang menyiksa tersebut tak
dapat dikatakan sebagai bancana alam semata melainkan sekaligus kejahatan yang
terstruktur dan sistematis. Kebakaran
hutan seperti ini sudah pasti
disengaja dan direncanakan.
Satu hal yang kiranya jelas bahwa bencana yang dilukiskan
diatas adalah suatu situasi kritis. Situasi dimana terdapat jurang yang
menganga antara apa yang nyata ada
(das sein) dengan apa
yang seharusnya ada (das sollen) di
Sumatra dan Kalimantan. disadari ataupun
tidak, hal ini merupakan penggambaran dari
penanganan bencana kabut asap yang tak pernah padam.
Padahal pijakan
hukum untuk menyelesaikan masalah ini sangat jelas. Pertama, UU No 41 tahun
1999 tentang kehutanan. Dalam pasal 50 huruf D disebutkan bahwa setiap orang
dilarang untuk membakar hutan dengan alasan apapun. Kemudian pada pasal 78
disebutkan para pembakar hutan bisa dipenjara maksimal 15 tahun penjara dan
denda maksimal Rp 5 milyar.
UU berikutnya
ialah UU No 18 tahun 2004 tentang perkebunan. pada pasal 8 ayat (1) menyebutkan
bahwa bila dengan sengaja membuka dan atau mengelola lahan dengan cara
pembakaran yang berakibat pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup maka
para pelaku bisa dikenakan kurungan
maksimal 10 tahun serta denda maksimal Rp 10 milyar. Terakhir ialah UU No 32
tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. pada pasal
108 UU tersebut disebutkan bahwa melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar
akan diancam pidana minimal tiga tahun dan denda minimal Rp 3 milyar.
Bukan hanya
itu, terdapat beberapa hal yang secara tidak langsung dapat dikategorikan
sebagai penindasan kemanusiaan. Udara tak lagi layak hirup, pekerjaan
sehari-hari dihentikan, pendidikan selalu diliburkan dan kebutuhan sehari-hari
pun tak dapat dipenuhi dengan baik. Kenyataan ini menunjukkan bagaimana
masyarakat tertindas di tanah air nya sendiri. Oleh karna itu, pelaku pembakar
hutan tidak hanya patut disebut sebagai pelanggar undang-undang melainkan juga
penindas yang menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan.
Mirisnya, hukum serta
alasan-alasan diatas belum membuat pemerintah tergugah untuk sigap dan serius.
Buktinya, kebakaran masih terus berlanjut dan kabut asap masih senantiasa
menyelimuti. Bagaimanapun alasannya, yang harus diingat
bahwa semakin lamban pemerintah menyelesaikan masalah ini maka semakin banyak
pula korban yang berjatuhan. Artinya, sedikit atau banyaknya korban akan
ditentukan oleh cepat atau tidaknya pemerintah bergerak. Disinilah fungsi utama
pemerintah bagi masyarakat. Mereka yang menjadi korban kabut asap hanya
membutuhukan kembalinya kehidupan normal mereka yakni kebakaran dan asap pergi
dan tidak terulang lagi dimasa yang akan datang.
*Penulis adalah
Aktifis HMI Ciputat, Penggiat Kajian PIUSH serta Anggota Serumpun Mahahasiswa
Riau (SEMARI Banten).
0 komentar:
Post a Comment