Wednesday 7 October 2015

Asap itu Bukan Sekedar Bencana Alam

Oleh : Dedy Ibmar*

Kabar menyengat itu kembali dihembus angin dari sumatra dan kalimantan. sudah berbulan-bulan masyarakat disana tidak menghirup udara segar layaknya manusia pada umumnya. kesehariannya mereka hanya menghirup asap yang berujung pada gangguan pernapasan. Hingga sekarang kabut asap masih menjadi pemandangan tersendiri bagi masyarakat. Asap telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di daerah rawan asap tersebut.

Seperti di Riau, ratusan hektar hutan diprovinsi yang kaya akan sumber alam itu telah hangus terbakar dilalap api. hal ini tentu tanpa sebab musabab, sebab tidak mungkin ratusan hektar hutan dapat terbakar dengan sendirinya tanpa ada yang sengaja membakar. Selain itu, kebakaran juga selalu saja berulang-ulang terjadi. Artinya, Kabut asap yang menyiksa tersebut tak dapat dikatakan sebagai bancana alam semata melainkan sekaligus kejahatan yang terstruktur dan sistematis. Kebakaran hutan seperti ini sudah pasti disengaja dan direncanakan.

Satu hal yang kiranya jelas bahwa bencana yang dilukiskan diatas adalah suatu situasi kritis. Situasi dimana terdapat jurang yang menganga antara apa yang nyata ada (das sein) dengan apa yang seharusnya ada (das sollen) di Sumatra dan Kalimantan. disadari ataupun tidak, hal ini merupakan penggambaran dari penanganan bencana kabut asap yang tak pernah padam.

Padahal pijakan hukum untuk menyelesaikan masalah ini sangat jelas. Pertama, UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Dalam pasal 50 huruf D disebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk membakar hutan dengan alasan apapun. Kemudian pada pasal 78 disebutkan para pembakar hutan bisa dipenjara maksimal 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 5 milyar.

UU berikutnya ialah UU No 18 tahun 2004 tentang perkebunan. pada pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa bila dengan sengaja membuka dan atau mengelola lahan dengan cara pembakaran yang berakibat pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup maka para  pelaku bisa dikenakan kurungan maksimal 10 tahun serta denda maksimal Rp 10 milyar. Terakhir ialah UU No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. pada pasal 108 UU tersebut disebutkan bahwa melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar akan diancam pidana minimal tiga tahun dan denda minimal Rp 3 milyar.

Bukan hanya itu, terdapat beberapa hal yang secara tidak langsung dapat dikategorikan sebagai penindasan kemanusiaan. Udara tak lagi layak hirup, pekerjaan sehari-hari dihentikan, pendidikan selalu diliburkan dan kebutuhan sehari-hari pun tak dapat dipenuhi dengan baik. Kenyataan ini menunjukkan bagaimana masyarakat tertindas di tanah air nya sendiri. Oleh karna itu, pelaku pembakar hutan tidak hanya patut disebut sebagai pelanggar undang-undang melainkan juga penindas yang menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan.

Mirisnya, hukum serta alasan-alasan diatas belum membuat pemerintah tergugah untuk sigap dan serius. Buktinya, kebakaran masih terus berlanjut dan kabut asap masih senantiasa menyelimuti. Bagaimanapun alasannya, yang harus diingat bahwa semakin lamban pemerintah menyelesaikan masalah ini maka semakin banyak pula korban yang berjatuhan. Artinya, sedikit atau banyaknya korban akan ditentukan oleh cepat atau tidaknya pemerintah bergerak. Disinilah fungsi utama pemerintah bagi masyarakat. Mereka yang menjadi korban kabut asap hanya membutuhukan kembalinya kehidupan normal mereka yakni kebakaran dan asap pergi dan tidak terulang lagi dimasa yang akan datang.


*Penulis adalah Aktifis HMI Ciputat, Penggiat Kajian PIUSH serta Anggota Serumpun Mahahasiswa Riau (SEMARI Banten).

0 komentar:

Post a Comment